Hujan
membuat suasana menjdi semakin muram. Setiap tetesnya merupakan kenangan yang
sulit di lupakan. Hujan selalu memberikan elegi elegi dimana saat hujan datang
suasana jalanan semakin lenggang, yang berjalan mulai membuka payungnya, yang
berkendara mulai beriringan meneduhkan diri dan yang mulai sendiri merasa sepi.
Aku
memandang wajahmu bopeng digerus bermacam macam gelombang kecemasan kepada
moral dan raklame jantung kota. Aku
melihat jelas, deru mobil di sepanjang aspal jalan yang menghitam. Kau
memekikkan luka masa yang dijajah dengan cara pandang dan teknologi. Seperti rubaiyyat burung yang dicuri kandangnya. Kaupun
menjadi manusia nomaden yang konon rumahnya terpancang di bukit bukit
terlarang.
Aku
masih dengan tegasnya menyokongmu dari kejauhan, seperti embun pagi yang mulai
terseok seok oleh keributan kota dalam pedesaan. Dalam
sajak dan benak aku mulai berfikir bagaiman hujan dan kenangan dapat memberikan
sedikit pelit terhadap suasan hati yang duka.
Ah,
hujan dang kenangan berangsur angsur pergi meninggalkan hati ini, batinnya.
Purnama bulat menggantung di langit atas gubuk tua yang tersapu ombak kenangan
serta hujan yang sudah lama tak berhenti. Semula,
Hujan dan kenangan itu adalah mimpi bagiku. Untuk mencapainya ada siluet laut
yang membentang yang harus aku lewati setiap baitnya.
18 January 2017
No comments:
Post a Comment