Kisah Tentang Hujan


Breaking News

Ads

Saturday, February 11, 2017

Surat Sajak : Menunggu Hujan Reda

Kutemukan lagi kisah tentang hujan, tentang air yang menetes dari lagit dan dari dedaunan yang menggantung di ranting-ranting kusam. Tak hebat jika hujan tak menghentikanku, ya aku berhasil dibuatnya terdiam. Seketika itu aku harus ramah untuk menepikan diri di gardu kecil bercat merah. Betapa aku harus duduk termenung menunggu hujan reda, sereda-redanya atau berhenti tak menyapa lagi.

Tak habis sampai disitu, kusaksikan air hujan menetes dari genting gardu ke sepatu merah mudaku, jatuh ke kainnya dan tepat merasuk ke dalam jari-jari kakiku, dingin, sejuk, dan menggigil. Sendulah aku dimakan hujan. Aku tak pernah suka dengan hujan yang larut dalam jejakku. Hujan, hujan, dan hujan adalah bahasa terindah dari-Nya dan bahasa termashyur untuk kutuliskan. 

Kutepuk tangani hujan, pandainya dia memperpanjang masa aktif untuk turun dan menghibur rerumputan. Membuat embun dan jalanan tergenang. Menyejukkan pagi karena gemericiknya masih tersisa, di aliran yang tampak menawan mata. Mataku adalah tawanan, tawanan air yang selalu kusebut sama dengan rindu; hujan. Oh hujan.

Dan betapa hebatnya hujan, yang merenggut segala kepedihan luntur mengalir dikerahku, dan aku tertarik untuk tidak pedih lagi. Aku tak peduli jika hujan juga bisa membuatku sakit, tak akan meminta kamu menjadi obat. Yang aku tau hujan membuatku sakit karena hujan menginginkan aku istirahat. Istirahat untuk berharap, istirahat untuk rindu, dan istirahat untuk tidak menikmati hujan, yang malu di kemarau suatu saat nanti.

Aristya Pendriyani 11 Februari 2017

No comments:

Post a Comment