Satu Hari Di Bulan Desember
“Rian.! Teriaknya dari jauh, sambil tersenyum Tsamara mulai
berlari menghampiriku. Aku yang duduk sendiri di taman kampus sambil
mendengarkan musik membalas senyumanya tanpa membalas kata-katanya. “Hay, hari
ini kita ke toko buku yuk. Sudah lama kita tidak jalan jalan bareng kesana.
Tanyanya ketika sudah dihadapanku.
“Ah aku tidak bisa, hari ini aku ada janji” sahutku sambil
membaca buku. Tsamara yang nampak kesal mengambil bukuku dengan cepat. Sepontan
aku langsung menatapnya “Ada apa.?” Sambil cemberut Tsamara memarahi aku,
“kalau ada orang yang mengajakmu ngobrol perhatikan dong. Hari ini kamu mau kemana sih? tidak biasanya
kau menolak saat kuajak ke took buku.
“Ah, aku mau ke kafe hari ini.” Dia tertawa kecil. “Kamu Ri,
pergi ke kafe gak salah denger aku?
Maklum aku memang sebenarnya aku tidak suka untuk diajak ke
kafe. Hal itu menurutku menghabiskan banyak uang, sebab harga makanan dan munuman
disana bisa untuk aku makan selama tiga hari.
“Aku ikut.” Sahut Tsamara dengan penuh harap. “Aku ingin pergi
sendiri.” kataku sambil merebut bukuku. Dengan memukulku dia merengek untuk
ikut aku pergi ke kafe. Namun aku tetap menolaknya untuk tidak ikut.
“Hay, aku pergi dulu” aku meninggalkanya di sudut taman
sendirian. Aku sudah berjalan cukup jauh, kutengok kebelakang dia masih
memperhatikanku tanpa berpaling. “Ah tak tega aku meninggalkanya denga muka
kuyup seperti itu” fikirku.
Sambil melambaikan tangan aku memanggilnya. “Ayo.” Dari kejauhan
nampak dia tersenyum gembira. Dia berlari dan aku bilang hati hati. Akhirnya
kami berjalan berdua menuju parkiran motor. Awalnya jika Tsamara tak aku ajak
aku naik angkot menuju kafe. Berhubung Tsamara membawa kendaraan kami pergi
berboncegan kesana. Seperti biasanya ketika dia ku bonceng selalu dia selalu
cerewet dan mengajakku ngobrol banyak hal.
Aku mengenalnya, Sudah lama dia menjadi sahabatku. Sebenarnya
dia cukup cantik. Tapi entah kenapa banyak laki laki yang suka padanya dia
tolak begitu saja. Ada yang tampan dan tajir, ada yang anaknya rector fakultas
juga dia tolak. Tapi aku tak pernah mengomentari hubungan asmaranya. Sebab
memang semenjak kali pertama kami bertemu dan bersahabat, pertanyaan mengenai
asmara selalu aku alihkan ke topic pembicaraan lain.
Tak lama kami berkendara, kamu sampai juga di kafe sudut kota.
Cukup ramai sepertinya tidak ada tempat duduk kosong. Sambil menengok kiri
kanan Tsamara dan aku mencari tempat duduk. Tiba tiba dari lantai dua namak ada
perempuan yang duduk sendiri melambaikan tangannya. “Ah, ternyata dia sudah
sampai duluan.” Gumamku dalam hati.
Tampak kupandangi dari belakang. Tsamara nampak celingak
celinguk ketika Rere melambaikan tanganya kepadaku. Mungkin fikirnya dia menmanggil Tsamara.
Lantas dari belakang aku langsung berjalan sambil menepuk pundaknya yang
mengisaratkan bahwa aku ingin dia mengikutiku.
Ketika tiba aku langsung duduk di pinggir sendiri, Sementara
Tsamara duduk disebalahku. Suasana saat itu cukup canggung, sebab baru kedua
kalinya aku bertemu dengan Rere. Terlebih tempatnya cukup ramai seperti ini.
“Mau pesan apa.” Sahut Rere memecah keheningan, “Oh iya.” Sambil
tersenyum kecil aku memilih minuman sementara itu kulihat Rere dan Tsamara
saling berkenalan. “Kamu mau pesan apa Ra.”
“Yang biasanya aja Ri.”
Tanpa memalingkan wajahnya
Dengan tatapan sinis aku menoleh kepada Tsamara, dan mencubit
tangannya. Spontan saja dia protes terhadapat tindakanku. “Apaan sih Ri” sambil
cemberut dia menoleh kepadaku. “Aku tidak tau kesukaanmu, apa kau tidak ingat
ini kali pertama kita pergi ke kafe.” Sahutku dengan membalas cemberutnya.
Hari itu kami bertiga mengobrol banyak hal. Kami bercerita cukup
lama. Tak disangka Rere bertnya kepada aku dan Tsamara. “Kalian berpacaran?”
Dengan wanjah yang nampak penasaran menantikan sebuah jawaban yang serius dari
kami berdua. “Iya, sahut Tsamara.” Sambil senyum-senyum dan menatap kepadaku
agar aku juga mengatakan hal yang sama. “Ah, Tidak Re kami tidak berpacaran
hanya saja kami kami sudah bersahabat cukup lama.” Sahutku sambil menatap kedua
perempuan itu. “Hahaha.”, Rere tertawa atas penyataan kami yang berbeda.
Sementara Tsamara nampak memerah wajahnya lantaran dia malu telah bercanda
seperti itu.
Selepas itu aku lebih intens mengobrol dengan Rere dan Tsamara
hanya ikut tertewa mendengar ceritaku. Tak lama Tsamara memotong ceritaku. “Ri
aku pulang dulu udah di cari mamaku.” Sambil meninggalkan meja dia menginjak
kakiku keras keras. “Hay.”sahutku sepontan “Dah, Rere.!” Sambil mengejekku dia
beranjak pergi. Dia terus menoleh ke belakang. Mungkin fikirnya aku akan ikut
dia pulang. Kuperhatikan dia sebenarnya namun fikirku itu hal biasa. Dari
kejauhan kupandangi dia dan dia melambaikan tangkan kepadaku dan aku
membalasnya. Nampaknya dia cuku keal karena aku tidak ikut bersamnya pulang.
Akhinya, tersisa kami berdua. Aku dan Rere. Kami masih
melanjutkan obrolan kami, Sapai pada satu waktu aku berpamitan untuk pulang.
“Aku pulang dulu Re, mungkin lain waktu kita bisa bertemu lagi.” Dia tersenyum
sambil mengembalikan jaketku. “Iya Kak, Trimakasih jaketmu sudah
menghangatkaku.”
Jantugku berdetak lebih cepat saat dia mengatakan hal seperti
itu. Wajar saja sebab aku baru pertama kali mendengar kata kata perempuan yang
menurutku itu hal yang baru dan menghangatkan batinku. Lalu aku beranjak keluar
dan mencari halte terdekat. Tak lama aku berjalan, tiba tiba ada motor yang
berhenti didepanku. Sambil membuka kaca helm Rere berteriak kepadaku.“Kak, mau
pulang bareng tidak.?”
Aku langsung berlari kearanya. “Ah, Apa tidak merepotkanmu
nanti.?” Sambil menatapnya.
“Tak apa kak ayo.” Sahutnya kepadaku penuh harap.
“Ah, baiklah.”
Sepontan Rere melepas helmnya dan memakaikannya kepadaku. Hatiku
sangat kacau saat itu. Namun aku berusaha untuk tetep tenang dan tidak gugup.
Kudengar suara gelegar hari itu. Langit abu abu kembali menghiasi langit sudut
kota ini. Rintiknya mulai kuamati jatuh sedikit demi sedikit. Gemercik. Tak
lama hujan datang dengan sangat derasnya. Dan kami hari itu hujan hujanan untuk
pertama kalinya. Dan aku merasa bahagia bersamnya.
***
Yusuf Hafizh


No comments:
Post a Comment